top of page
Search
  • fosveras

Sebuah Realita tentang Demokrasi di Indonesia

Updated: May 29, 2019


Lady Justitia

"Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”. Salah satu Kalimat bijak dari alm. Gus Dur sangat relevan jika kita melihat situasi di negri ini sekarang. Jangan sampai karena politik, kita semua jadi membenci satu sama lain. Beda pilihan itu biasa, namun jangan sampai perbedaan itu membuat kita menjadi lupa hakekat kita sebagai makhluk sosial.

Banyak yang lupa, bahwa sikap fanatik kepada calon tertentu tidak akan mengubah apapun. Untuk bisa survive, ya tergantung diri kita. Calon pilihan menang bukan berarti kita auto kaya. Orang-orang yang mendapatkan angin segar tentunya orang-orang yang terllibat secara langsung. Sedangkan kita sebagai rakyat biasa? Hanya rasa puas. Tunggu dulu... apakah benar kita akan merasa puas jika pilihan kita menang? Tidak. Manusia mana ada yang bisa puas, pasti akan menuntut blablabla.

Ada yang beranggapan bahwa “memilih untuk mencegah yang buruk berkuasa”. Padahal baik dan buruk itu relatif, apalagi politik itu sarat akan power-play dan kepentingan. Lalu yang bilang begitu menyudutkan yg golput. Katanya Demokrasi itu harus memilih, bukannya tidak memilih. Satu suara mampu membawa perubahan. Lalu apakah golongan putih tidak pantas untuk hidup di Indonesia? apakah golongan putih tidak boleh untuk menyuarakan aspirasi? Jika yang golput tidak boleh ini itu blablabla, lalu apa artinya Demokrasi? Kebebasan berpendapat, kebebasan memilih, kebebasan berfikir, itu semua ada di dalam Demokrasi. Jika ada menentang golputers atas alasan Demokrasi, bukankah mereka yang tidak memperbolehkan golputers untuk bersuara sama saja sedang menodai Demokrasi itu sendiri?

Hidup ini tidak melulu tentang politik, menentukan pilihan untuk kehidupan negara yang lebih baik. Toh, semakin kita giat belajar, semakin kita giat bekerja, semakin kita meningkatkan taraf hidup, ekonomi akan berkembang dgn sendirinya. Pemerintah membuat program ini itu bla bla bla untuk kebaikan masyarakat, untuk kemajuan negara. Then what? Bukankah itu pemerintah? Ketika pemerintah sudah memberikan bantuan ini itu bla bla bla, giliran kita untuk berusaha agar taraf hidup kita semakin baik.

Namun sayangnya kita semua seakan belum siap untuk mengarah ke arah yang lebih baik. Kita semua gampang terpancing oleh isu kecil, kita gampang untuk diadu domba. Isu-isu yang sudah usang, diperdebatkan lagi. Bicara masalah halal dan haram, bencana karena dosa, dlsb, biarkanlah menjadi urusan masing-masing. “tapi kan harus saling mengingatkan!”. Betul dan boleh, tapi jika yang diingatkan tidak memperdulikan? Bukankah itu sama aja dgn membuang waktu? Jika yang bersangkutan tidak bisa berubah percuma diingatkan. Orang yang diingatkan akan sadar dengan sendirinya jika ditimpa suatu peristiwa yg merugikan dirinya.

Berharap Indonesia akan maju? Berjaya? Untuk membaca saja ogah-ogahan. Ditambah dengan marakanya kasus penyitaan buku-buku yang dianggap sebagai musuh. “membaca adalah jendela dunia”, kalimat itu marak dijumpai ketika kita sekolah. Tapi kenyataannya ada pembatasan dalam hal bacaan. Efek yang ditimbulkan dari bacaan memang ada dan beragam. Itulah mengapa kita harus terbuka, agar tidak terpengaruh dari satu sisi.

Ada banyak cara untuk mengubah nasib kita selain menunggu peruntungan 5 tahunan. semakin kita giat belajar, semakin kita giat bekerja, semakin kita meningkatkan taraf hidup, toh kita akan berrkembang dgn sendirinya.

Ketika semua orang sudah muak dengan yang namanya Demokrasi, politik, memilih calon pemimpin. Akan ada banyak orang yang menentukan hidupnya sendiri tanpa bergantung pada harapan 5 tahunan, akan semakin banyak orang yang menjalin relasi sehingga solidaritas menjadi harga mati, bukan lagi NKRI harga mati.


(Moshe Wirabudi)

42 views0 comments

Recent Posts

See All

[Refleksi] Calon Buruh Media

Afterword Tidak terasa semester enam akan segera berakhir, sesi satuku akan segera berakhir. Semoga terwujud segera cita-citaku menjadi buruh media. What? Multimedia, sebuah kata yang tidak terdengar

Refleksiku, Untukmu oh PMM

“Semester enam itu semester paling capek” Pernyataan itu benar adanya, setidaknya menurut yang saya rasakan. Betul, banyaknya mata kuliah ditambah KKN dengan sistem yang ribetnya bukan main memang men

Post: Blog2_Post
bottom of page