top of page
Search
  • fosveras

[REFLEKSI] Suara Hati di Akhir Semester

Updated: Jun 15, 2019

Menjadi seorang mahasiswa nyatanya bukan sesuatu yang mudah. Banyak hal yang harus dilakukan di setiap semesternya. Mulai dari mengerjakan tugas yang menggunung, baik individu maupun berkelompok. Lalu, jam kuliah yang padat, ujian yang (terkadang) menyiksa, kegiatan non akademik (kepanitiaan, ukm, dll), serta kegiatan lain, seperti bekerja paruh waktu sebagai barista di kedai kopi.


Banyak, ribet, dan melahkan, belum lagi kalau harus berurusan dengan sebuah entitas jahat bernama “malas”. Semua tanggung jawab yang seharusnya diemban dengan hati gembira dan niat, rasanya menjadi beribu-ribu lebih berat. Pada akhirnya, semua diselesaikan menggunakan SKS (Sistem Kebut Semalam), tanpa memperhitungkan hasil akhir yang akan dicapai.


Yang penting ada, itu kata mereka untuk menjustifikasi diri.


Saya merasakan sendiri kesulitan itu. Terlebih lagi, saat ini saya merupakan seorang mahasiswi (menuju) tingkat akhir, yang masih harus menyelesaikan mata kuliah teori plus KKN agar bisa lulus dan menyandang gelar S.I.Kom.


Dari enam mata kuliah teori yang saya ambil di semester ini, ada satu yang cukup membuat diri ini khawatir, yaitu Produksi Multimedia (PMM). Sebuah mata kuliah puncak dengan beban 4 SKS, yang diberikan kepada mahasiswa jurusan Komunikasi Massa dan Digital.


Sebenarnya, tidak ada alasan khusus untuk menjadikan mata kuliah ini sebagai momok. Karena kalau boleh jujur, saya menyukai hampir setiap materi yang diberikan kepada kami, mahasiswa.


Hanya saja, ketakutan itu tetap saja ada.


APA ITU PMM?

Sesuai namanya, yang dilakukan oleh mahasiswa dalam mata kuliah ini adalah memproduksi, tepatnya memproduksi konten secara multi moda. Tidak hanya menulis artikel, tetapi kami juga wajib memproduksi bentuk lain dari artikel tersebut, misalkan dalam bentuk podcast dan/atau video.


Terdengar menyenangkan bukan? Iya memang.


Tetapi, sebenarnya tidak semenyenangkan itu. Sebab kami harus mempertimbangkan berjuta-juta hal untuk memproduksi konten yang layak. Kami wajib memperkaya diri dengan sejumlah tips dan trik sebelum memproduksi sebuah konten.


BELAJAR APA DI PMM?

Banyak ilmu yang dipelajari dari mata kuliah ini, seperti:


1. Cara menulis untuk artikel daring (jangan panjang-panjang karena bisa membuat khalayak bosan)

2. Menentukan kata kunci agar artikel dibaca

3. SEO.

4. Topik yang sedang hangat.


Itu untuk artikel.


Di mata kuliah ini, kami tak hanya diajarkan menulis, tetapi juga membuat video dan podcast. Untuk video dosen kami memberikan file berisi kiat-kiat untuk memproduksi video yang baik. Kami juga diajarkan untuk menilai video di YouTube menggunakan form yang berisi kriteria ideal video.


Untuk podcast, kami dipertemukan oleh seorang podcaster bernama Rane Hafied (Suarane Podcast) lewat sambungan video call. Setelah itu kami diminta untuk memproduksi podcast dengan topik bebas. Ini menjadi satu bagian terbaik dari mata kuliah PMM, sebab saya bisa membagi pengalaman untuk dijadikan insight bagi orang di luar sana.


Melalui mata kuliah ini juga, saya mengalami rasanya menjadi penyiar radio yang ditonton oleh banyak orang di luar sana. Rasanya luar biasa!


Tak boleh dilupakan, kami juga belajar cara melakukan live report di jalanan. Saat itu, kami per kelompok, diterjunkan di beberapa titik di Yogyakarta untuk melaporkan keadaan lalu lintas di pagi hari. Saat itu kelompok saya mendapat bagian meliput di perempatan Kentungan, Jalan Kaliurang.


Bagian terspesial dari semuanya adalah saya mampu mewujudkan mimpi kecil saya di mata kuliah ini. Sejak lama saya ingin menjadi seorang scriptwriter. Namun, saya belum mengetahui bagaimana cara menulis untuk skrip film. Di mata kuliah ini, tepatnya di kelompok, saya mendapat bagian menjadi seorang scriptwriter. Sukacita terbesar melihat hasil tulisan saya, meski jauh dari kata bagus. Thrilling but exciting!

PENGETAHUAN dan PENGALAMAN


Nilai guna merupakan sesuatu yang penting bagi saya. Sebelum saya melakukan atau membeli sesuatu, hal pertama yang saya lakukan adalah memperhitungkan nilai gunanya. Karena melakukan sesuatu yang berguna membuat saya lebih semangat. Setidaknya karena tahu yang saya lakukan tidak akan sia-sia.


PMM menjadi satu dari beberapa mata kuliah yang saya anggap memiliki nilai guna. Saya mendapat banyak hal dari mata kuliah ini. Tak melulu soal ilmu, tetapi juga skill dan mentalitas.


Pengetahuan dan pengalaman bertambah setiap kali masuk ke ruang kelas. Tentu saja semuanya tidak menyenangkan, ada yang menyakitkan, ada yang membuat keki, terkadang ada yang membuat putus asa.


Pikiran seperti, “Kenapa sih kok rasanya apa yang ku kerjakan nggak ada yang benar?” kerap muncul, terutama setelah mendapat komentar dari dosen atau teman-teman sekelas yang mencoba kritis.


Sesuatu yang menyakitkan tak seharusnya menjatuhkan. Itu yang membuat saya masih bertahan hingga saat ini (selain karena saya tidak mau mengulang). Berusaha menunaikan tugas di mata kuliah ini hingga akhir nanti.


TULIS MENULIS

Menulis, memotret, merekam, menyunting, dan speaking, merupakan skill yang digodok di mata kuliah PMM. Dan, saya sudah melakukan itu semua. Sekali lagi, semuanya tidak mudah.


Dari kelima skill di atas, menulis adalah kompetensi yang saya miliki. Terlepas dari fakta, tulisan saya juga tidak sebaik itu. Namun, hanya menulis lah yang mampu saya lakukan dengan baik.


Menulis sudah menjadi bagian dari diri ini sejak bertahun-tahun lamanya. Saya sangat suka menulis. Menulis adalah cara saya berbicara, mengingat kemampuan berbicara saya cukup payah. Melalui tulisan, setiap ide, perasaan, dan imajinasi dapat terkomunikasikan dengan baik.


Awalnya, menulis sesuatu yang sifatnya informatif dengan kaidah jurnalistik, membuat saya kewalahan. Karena selama ini saya hanya menulis fiksi. Dan tulisan saya tidak untuk dibaca banyak orang!


Namun, dua semester terakhir, menjadi tantangan baru bagi saya untuk menulis dengan format yang jauh berbeda. Rasa khawatir selalu saja menghantui. Khawatir tulisan saya tidak jelas maksudnya, kalimatnya tidak padu, dan khawatir tulisan ini dibaca orang. Terlebih lagi, dosen saya selalu mewajibkan kami untuk mengunggah artikel yang kami tulis di Kompasiana.


Kali pertama memang tidak pernah mudah. Pertama kali kami diwajibkan untuk menulis artikel, saya merasa kalau saya tidak mampu. Pikiran saya mandek total. Saya tidak dapat merangkai kata seperti yang biasanya saya lakukan.


Saat itu saya merasa kesal hingga ubun-ubun. Saya melampiaskan kemarahan pada laptop. Alhasil, laptop saya harus masuk ke tempat servisan.


Seiring berjalannya waktu, kebiasaan baru pun lahir. Setiap minggunya, kami mendapat tugas untuk menulis artikel dan mengunggahnya di Kompasiana. Lama kelamaan, kekhawatiran mulai berkurang.


Dengan mengikuti kaidah yang ada, saya sedikit demi sedikit memahami mekanisme menulis artikel online. Meski terkadang belum baik, tetapi saya mencoba mengikuti kaidah tersebut. Bagian tersulit adalah membuat tulisan yang sederhana, tetapi tidak dangkal.


Mata kuliah ini mengasah kemampuan menulis saya. Kewajiban untuk menulis artikel, mengharuskan saya belajar kata-kata baru dan memperbaiki tata bahasa. Masih belum sempurna, tetapi saya tahu ada yang berubah.


Dan, saya tahu itu adalah perubahan yang baik.


NILAI YANG LAYAK

Berbicara tentang nilai atau skor, selalu menarik perhatian saya. Karena dengan begitu, saya jadi mengetahui apa, kenapa, dan bagaimana orang memberikan value terhadap sesuatu.


Saya adalah satu dari sekian orang yang sangat mem-value nilai (skor). Karena nilai (skor) berarti besar untuk saya. Saya tidak mau menjadi seorang hipokrit yang bersembunyi di balik kalimat, “Ah, yaudah sih nilai doang,”, “Yang penting tuntas,” atau “Yaelah, nilai nggak menentukan kamu sukses nantinya.” Padahal jauh di dalam lubuk hati begitu mengharapkan nilai (skor) yang tinggi.


Tidak, saya bukan orang seperti itu.


Saya dididik dengan nilai-nilai yang berorientasi pada proses. Bukan berarti hasil akhir tidak diperhitungkan, tetapi proses memiliki bobot lebih ketimbang hasil akhir.


Dengan demikian, saya tumbuh menjadi seorang yang mengutamakan proses. Tak peduli seberapa besar progressnya, yang penting selalu ada kemajuan di dalamnya.


Kebiasaan tidak pernah setengah-setengah lahir di sana. Saya selalu berusaha maksimal dalam menjalani proses yang ada. Tak lupa, saya selalu berefleksi. Mengulas untuk mengetahui kekurangan. Sehingga dapat memperbaiki yang masih belum sempurna.


Sistem seperti ini membuat saya dapat memperkirakan hasil yang akan saya peroleh di akhir. Dan sejauh ini tidak pernah mengecewakan.


Namun, tampaknya sistem proses dan progress tidak berlaku di dunia saya saat ini. Orang-orang di sekitar saya hanya melihat lalu menilai hasil akhir yang ada. Tanpa memperhitungkan perjuangan yang dilakukan di balik layar.


Meski begitu, prinsip saya tidak berubah. Saya tetap mengutamakan hal tersebut. Terlebih lagi ketika melakukan peer assessment terhadap pekerjaan teman saya.


Jadi, ketika ditanya nilai apa yang anda harapkan? Jawabannya, nilai yang layak untuk setiap usaha yang tersemat di balik produk-produk komunikasi yang telah saya produksi.


Jika dinominalkan atau diwakilkan dengan huruf, usaha saya layak mendapat nilai di atas B+. Karena, usaha yang saya kerahkan tidak main-main.


Mulai dari, menyatukan kelompok yang sangat berbeda ritmenya, “mencambuk” agar anggota kelompok bekerja, memberikan sumbangsi ide setiap kerja kelompok meski pada akhirnya ditolak atau ditertawakan karena dianggap remeh dan tak masuk akal, beradu pendapat dengan teman yang seolah-olah paling tahu segalanya. Lalu, memproduksi dan memperbaiki konten sesuai kaidah yang telah ada, memikirkan konten agar tidak disalahartikan oleh teman-teman penilai. Kemudian, melatih kemampuan berbicara yang baik agar menghasilkan podcast yang layak didengarkan, menekan diri untuk mampu mengambil gambar pada angle yang tepat. Hingga, mempertimbangkan kata dan gambar apa saja yang ditulis di artikel pada topik tertentu agar mendapat label "artikel pilihan". Pernah, tetapi tak lama Kompasiana menarik kembali label tersebut dari artikel yang saya tulis.


Mungkin, saya dianggap seperti orang yang berlebihan. Tetapi, demikian adanya. Dan menurut saya perjuangan saya di mata kuliah ini memang berat. Di sini, saya berjuang bersama anggota kelompok yang “berbeda”. Di sini, saya tidak memanfaatkan kehadiran anggota kelompok saya untuk memperoleh nilai yang tinggi, saya tidak berpura-pura berusaha keras agar memperoleh nilai yang tinggi, dan saya tidak hanya menumpang nama saja.


These are the reasons why I deserve more.


Mungkin, hasil akhir yang ada tidak merepresentasikan usaha di baliknya. Namun, percayalah hati, pikiran, dan tenaga saya semua ada di sana.



Salam,


Sharon Aprilia Putri

(160905955)


*berikut ini adalah tautan karya saya selama berdinamika di mata kuliah PMM


A. Individu


Kompasiana


1. Jurnalisme Kombinasi


2. Mengevaluasi “Body Buffing” Milik INSIDER


3. Visual Storytelling: Gambar yang Berbicara


Web Fosveras


1. Menjamu lewat Suwe Ora Njamu


2. [CEK FAKTA] 3 Langkah Cerdas untuk Memeriksa Fakta


3. KPM Tetapkan Pasangan Reyna-Gaby Sebagai Pemenang Pilpres BEM 2019


Script


1. Pilihanku, Pilihanmu

https://drive.google.com/file/d/1zcJsqq451fdX4GMRmhl18Cw_L1iOPLhj/view?usp=sharing


2. Milen Kundang

https://drive.google.com/file/d/1ceLBXgaBmIMJ9omgfozNkWJJJOo1LDJ8/view?usp=sharing


3. Abang

https://drive.google.com/file/d/1o-Dwscqiq3BY51Br0FNdzw4ASJpD8HSe/view?usp=sharing


Podcast


Takut untuk Gagal – PB#3


Photostory


B. FOSVERAS


YouTube


Pilihanku, Pilihanmu


Instagram

33 views0 comments

Recent Posts

See All

[Refleksi] Calon Buruh Media

Afterword Tidak terasa semester enam akan segera berakhir, sesi satuku akan segera berakhir. Semoga terwujud segera cita-citaku menjadi buruh media. What? Multimedia, sebuah kata yang tidak terdengar

Refleksiku, Untukmu oh PMM

“Semester enam itu semester paling capek” Pernyataan itu benar adanya, setidaknya menurut yang saya rasakan. Betul, banyaknya mata kuliah ditambah KKN dengan sistem yang ribetnya bukan main memang men

Post: Blog2_Post
bottom of page